Kahlil Gibran lahir di Bsherri, Lebanon, 6 Januari 1883. Dalam usia remaja bersama ibunya pindah ke Boston, Amerika Serikat. Setelah kembali ke Lebanon untuk mempelajari sastra Arab, mulai tahun 1905 karya-karyanya terbit dan menarik perhatian, terutama Sang Nabi. Ia memperluas pandangan sastra dan belajar melukis di Paris, kemudian menetap di New York, mendirikan studio "Pertapaan". Buku-bukunya yang terkenal selain Sang Nabi, juga Taman Sang Nabi, Pasir dan Buih, Sayap-Sayap Patah, Suara Sang Guru, Si Gila, Sang Pralambang, Sang Musyafir, dll. Ia meninggal 10 April 1931 karena sakit lever dan radang paru-paru.

Monday, August 9, 2010

Surat Cinta Kahlil Gibran Kepada May Ziadah

Dari Gibran Kepada May Ziadah


May sayang,

Aku berutang untuk segala yang kusebut "Aku" terhadap wanita, sejak aku kecil. Wanitalah yang membuka jendela-jendela mataku dan pintu-pintu jiwaku. Kalau saja bukan karena ibu, saudara perempuan dan teman wanita, tentulah aku masih tidur lelap bersama orang-orang yang mencari ketenangan dunia dengan dengkur mereka.

... Aku telah menemukan kesenangan dalam sakit. Kesenangan ini dengan segala pengaruhnya, berbeda dari segala kesenangan yang lain. Aku telah menemukan semacam ketenteraman yang membuat aku mencintai sakitku. Orang sakit itu selamat dari persaingan manusia, tuntutan, kencan dan janji, pembicaraan yang ngelantur serta dering telepon. Aku telah menemukan kenikmatan yang lain lewat sakit ini yang lebih penting dan tak ternilai. Aku menemukan diriku lebih dekat kepada hal-hal yang abstrak dalam sakitku ini daripada dalam sehat. Manakala aku meletakkan kepalaku di bantal dan menutup mataku dan melupakan segala urusan duniawi, aku menemukan diriku sedang melayang-layang laksana seekor burung menjelajahi lembah-lembah dan rimba raya yang tenteram, yang terbungkus dalam selubung yang lembut. Aku dapatkan diriku akrab dengan mereka yang aku cintai, seraya menyeru dan bercakap dengan mereka, tetapi tanpa rasa marah, dan dengan perasaan seperti yang mereka rasakan, dengan pikiran seperti yang mereka pikirkan. Kadang-kadang mereka meletakkan tangannya pada dahiku untuk memberkatiku.

... Aku ingin menjalani sakitku di Mesir atau di kampung halamanku, agar aku bisa dekat dengan orang-orang yang kucintai.* ) Tahukah kau, May, bahwa setiap pagi maupun senjahari aku merasa seolah diriku berada di sebuah rumah di Kairo, bersama engkau yang duduk di depanku membacakan artikel terakhir yang aku atau kautulis, yang belum diterbitkan.

...Tahukah kau, May, bahwa manakala aku, memikirkan tentang Keberangkatan yang disebut orang Kematian itu, aku merasakan kesenangan dalam memikirkan dan merindukan Keberangkatan itu. Lalu aku kembali pada diriku dan ingat bahwa ada sebuah kata yang mesti kukatakan sebelum keberangkatanku. Aku menjadi bingung di antara ketidakmampuanku dan keharusanku, lalu aku menyerah pada harapanku. Tidak, aku belum mengatakan kata itu, dan hanya asap yang keluar dari cahaya ini. Inilah yang membuat aku merasa bahwa menganggur itu lebih pahit daripada empedu. Kukatakan ini padamu, May, dan tidak kepada seorang lain pun. Jika aku tidak berangkat sebelum aku mengeja dan mengucapkan kataku itu, aku akan kembali untuk mengatakan kata itu, yang kini sedang menggantung laksana awan di lazuardi hatiku.

... Apakah hal ini terasa asing bagimu? Sesuatu yang paling asing adalah yang paling dekat pada kebenaran yang hakiki. Dalam hasrat manusia terdapat satu tenaga kerinduan yang mampu mengubah kabut dalam diri kita menjadi matahari.


Gibran

1928


*) Pada saat Gibran menulis surat ini, May tinggal di Kairo, Mesir.

0 comments:

Post a Comment