Kahlil Gibran lahir di Bsherri, Lebanon, 6 Januari 1883. Dalam usia remaja bersama ibunya pindah ke Boston, Amerika Serikat. Setelah kembali ke Lebanon untuk mempelajari sastra Arab, mulai tahun 1905 karya-karyanya terbit dan menarik perhatian, terutama Sang Nabi. Ia memperluas pandangan sastra dan belajar melukis di Paris, kemudian menetap di New York, mendirikan studio "Pertapaan". Buku-bukunya yang terkenal selain Sang Nabi, juga Taman Sang Nabi, Pasir dan Buih, Sayap-Sayap Patah, Suara Sang Guru, Si Gila, Sang Pralambang, Sang Musyafir, dll. Ia meninggal 10 April 1931 karena sakit lever dan radang paru-paru.

Friday, March 19, 2010

Surat Kahlil Gibran Kepada Nakhli Gibran

Sudah menjadi kehiasaan di kalangan orang Timur Tengah saling memanggil "Saudara" bukan saja kepada mereka yang ada hubungan keluarga, tapi juga kepada sahabat dekat dan kaum kerabat.

Surat ini ditulis kepada Nakhli, saudara sepupu Gibran yang pertama, yang disebutnya sebagai "saudara". Gibran dan Nakhli merupakan dua sahabat yang tak pernah berpisah di masa remaja. Mereka tinggal, tidur, bermain dan makan bersama di kota kelahiran mereka di Bsharre, dekat hutan "Cedar Suci" Lebanon.

Peter, saudara laki-laki Ciibran, seorang penyanyi dan pemain kecapi yang baik, menghibur Gibran dan Nakhli serta mengasuhnya. Ketika Nakhli meninggalkan Bsharre menuju Brasilia hendak mencari penghidupan, Gibran tetap akrab dengannya.

Dalam surat berikut ini, Gibran berbicara kepada Nakhli tentang perjuangannya dan keluhannya terhadap kelompok konservatif masyarakat Arab yang menuduhnya sebagai tukang bid'ah (pembelot) karena menurut perasaan mereka tulisan-tulisannya meracuni pikiran kaum muda. Gibran kemudian menerbitkan sebuah cerita yang diberinya judul "Khalil Sang Pembelot" (Khalil the Heretic).


Dari Gibran kepada Nakhli Gibran

Boston, 15 Maret 1908

Saudaraku Nakhli,

Aku baru saja menerima suratmu yang membuat bahagia tapi juga menyedihkan hatiku, karena surat itu mengingatkan aku pada kenangan hari-hari yang hilang bagai mimpi, seperti hantu yang datang di hari siang dan menghilang bersama kegelapan. Bagaimana hari-hari itu membuka diri, dan kemana perginya malam-malam itu, yang pernah kita nikmati bersama Peter kala ia masih hidup? Betapa saat-saat itu surut dalam kenangan; saat-saat yang diisi oleh Peter dengan nyanyian-nyanyian manis dan kegagahan dirinya. Hari-hari, malam-malam dan saat-saat yang menghilang bagai bunga yang gugur ketika sang fajar turun dari langit kelabu. Aku tahu bahwa kau teringat hari-hari itu dengan rasa duka, dan aku menyaksikan bayangan cintamu yang maya di antara kesibukan tugasmu, seolah semua itu datang dari Brasilia untuk mengembalikan ke dalam hatiku gaung dari lembah-lembah, gunung-gemunung dan anak-anak bengawan yang mengitari Bsharre.

Saudaraku Nakhli, hidup ini bagaikan musim sepanjang tahun. Musim gugur yang duka datang sesudah musim panas yang ceria, dan musim dingin yang mencekam datang sesudah musim gugur yang duka, dan musim semi yang rupawan muncul setelah berlalu musim dingin yang mengerikan. Akankah musim semi hidup kita kembali datang, sehingga kita bisa kembali berbahagia bersama pepohonan, tersenyum bersama bunga-bunga, berlarian bersama anak-anak sungai, dan bernyanyi bersama burung-burung seperti yang kita alami dulu di Bsharre waktu Peter masih ada? Akankah prahara yang memukul kita dapat menyatukan kita kembali? Akankah kita kembali lagi ke Bsharre dan bertemu di dekat Gereja Saint George? Aku tak tahu, tapi aku merasa bahwa hidup ini adalah semacam utang dan pembayaran. Lalu ia memberi kita lagi dan mengambilnya lagi, begitu seterusnya hingga kita menjadi lelah oleh memberi dan menerima, dan menyerahkan diri pada lelap tidur yang penghabisan.

Engkau tahu bahwa Gibran yang menghabiskan sebagian besar dari hidupnya untuk menulis, menemukan kegembiraan yang mengasyikkan dalam berkorespondensi dengan orang-orang yang sangat ia cintai. Engkau pun tahu bahwa Gibran, yang pernah membanggakan Nakhli kecil, tak akan melupakan seorang yang bernama Nakhli sekarang ini. Segala kecintaan anak itu tetap tinggal dalam hati hingga hari tua nanti. Yang terindah dalam hidup ini ialah jika jiwa kita tetap melayang-layang di tempat kita bersenang-senang suatu kali. Akulah seorang di antara mereka yang mengingat tempat-tempat semacam itu, tanpa mengenal batas jarak dan waktu. Aku tak membiarkan sesuatu yang maya muncul bersama awan, dan kenanganku yang abadi pada masa lalu itulah yang membuat aku berduka. Tetapi jika aku harus memilih antara suka dan duka, aku tak sudi menukar kesedihan hatiku ini dengan segala kesenangan semesta dunia.

Sekarang biarlah kututup tirai masa lalu, untuk bercerita padamu tentang hari-hari kini dan hari-hari depanku, karena aku tahu bahwa kau _ suka mendengar tentang anak yang senantiasa kaucintai. Dengarkanlah, aku akan membacakan padamu bab pertama kisah si Gibran: Aku seorang laki-laki dengan tubuh yang lemah, tetapi kesehatanku baik karena aku tak pernah memikirkan ataupun merisaukannya. Aku suka merokok dan minum kopi. Jika engkau melongok kamarku sekarang, engkau akan mendapatkan aku di balik tabir asap tebal yang bercampur bau harum kopi Yamani.

Aku mencintai kerja dan takkan membiarkan satu saat pun berlalu tanpa kerja. Tetapi hari-hari saat dariku sedang terbengkalai dan fikiranku lagi kacau, terasa lebih pahit dari kina dan lebih mengerikan dari gerigi serigala. Aku menghabiskan hidupku untuk menulis dan melukis, dan kenikmatanku dalam dua hal ini mengatasi segala kenikmatan yang lain. Aku merasa bahwa yang membangkitkan rasa kasih dalam diriku adalah tinta dan kertas, tapi aku tidak yakin apakah masyarakat Arab akan tetap bersahabat padaku seperti selama tiga tahun berselang ini. Aku katakan ini karena hantu kebencian telah muncul. Orang-orang di Siria menyebutku "tukang bid'ah" (pembelot), dan kaum inteligensia Mesir memfitnahku dengan tuduhan "Dia musuh keadilan hukum, ikatan kekeluargaan dan tradisi lama". Para penulis ini memang benar juga, karena aku tidak suka hukum ciptaan manusia dan aku membenci tradisi warisan nenek moyang kita. Kebencian ini adalah buah cintaku pada kemuliaan budi yang suci dan spiritual yang harus menjadi sumber setiap hukum di atas bumi, karena kemuliaan budi adalah bayang-bayang Tuhan dalam diri manusia. Aku tahu bahwa prinsip-prinsip yang mendasari tulisan adalah gema semangat sebagian besar bangsa-bangsa di dunia, karena cenderung menuju ke kebebasan spiritual bagi kehidupan yang seolah jantung bagi tubuh. Akankah ajaran-ajaranku diterima oleh masyarakat Arab ataukah akan mati dan menghilang laksana sesosok bayang-bayang? Akan mampukah Gibran memalingkan mata rakyat dari tengkorak dan onak duri menuju cahaya terang dan kebenaran? Atau akankah Gibran meninggalkan dunia ini menuju ke Keabadian tanpa meninggalkan kenangan apa pun bagi kehadirannya seperti kebanyakan orang? Aku tak tahu, tapi aku merasa ada suatu tenaga perkasa dalam lubuk hatiku yang ingin muncul, dan ia akan muncul suatu hari kelak dengan pertolongan Tuhan.

Ada sebuah kabar penting bagimu. Bulan Juni mendatang aku akan berangkat ke Paris untuk bergabung dengan sebuah komite para pelukis, dan aku akan tinggal di sana setahun penuh, dan selanjutnya kembali ke negeri ini. Aku akan mengisi waktuku di sana dengan studi, riset dan kerja keras, yang akan mengawali hidup baruku.

Ingatlah padaku pada waktu engkau dan seluruh keluarga berkumpul di meja makan, dan katakan pada istri dan anak-anakmu bahwa seorang kerabat, Gibran namanya, menyimpan sebuah cinta dalam hatinya untuk kalian semua.

Saudariku Miriana menyampaikan salam buatmu. Ketika aku membacakan suratmu padanya, ia begitu bahagia sehingga tak kuasa menahan air mata jika aku sampai pada kalimat-kalimat tertentu. Semoga Tuhan memberkatimu, memberimu kesehatan yang sempurna serta senantiasa menjagamu sebagai seorang saudara tercinta dari . . .


Gibran

0 comments:

Post a Comment