Kahlil Gibran lahir di Bsherri, Lebanon, 6 Januari 1883. Dalam usia remaja bersama ibunya pindah ke Boston, Amerika Serikat. Setelah kembali ke Lebanon untuk mempelajari sastra Arab, mulai tahun 1905 karya-karyanya terbit dan menarik perhatian, terutama Sang Nabi. Ia memperluas pandangan sastra dan belajar melukis di Paris, kemudian menetap di New York, mendirikan studio "Pertapaan". Buku-bukunya yang terkenal selain Sang Nabi, juga Taman Sang Nabi, Pasir dan Buih, Sayap-Sayap Patah, Suara Sang Guru, Si Gila, Sang Pralambang, Sang Musyafir, dll. Ia meninggal 10 April 1931 karena sakit lever dan radang paru-paru.

Thursday, August 19, 2010

Surat Gibran Ke Amin Guraib Boston 1908

Dari Gibran kepada Amin Guraib
Boston, 28 Maret, 1908

Saudara Amin,

Aku baru saja mengunci diri dalam kamarku di balik tirai asap rokok yang berbaur dengan bau aroma kopi Yamani, untuk berbicara padamu barang satu jam. Aku senang menikmati kopi dan rokokku, demikian juga percakapan ini.

Engkau sekarang berada di sebuah ujung dunia kita yang besar namun terasa kecil ini, sementara aku masih di sini. Kau kini di Lebanon yang cantik dan damai, dan aku di Boston yang bising dan hiruk-pikuk. Kau di Timur dan aku di Barat. Tapi jarak yang memisahkan kita tak ada artinya. Aku merasa kau lebih dekat padaku dari sebelumnya. Sementara orang merasa berat melepaskan kepergian sahabat-sahabat yang dicintainya, karena mereka merasakan kebahagiaan persahabatan itu lewat pancaindria. Tetapi jiwa Gibran lebih tinggi dari itu. Ia mencapai tingkat kebahagiaan yang lebih tinggi, sehingga tak memerlukan lagi sarana pancaindria. Jiwanya melihat, mendengar dan merasa, tetapi tidak melalui mata, telinga dan jari jemari. Jiwanya mengembara menjelajahi semesta dunia dan kembali lagi tanpa memakai kaki, mobil ataupun kapal. Aku melihat Amin ketika jauh dan ketika dekat, dan aku merasa segala yang di sekitarnya, sebagai jiwa yang menyaksikan berbagai obyek lain yang tak tampak dan hampa suara. Ya, keindahan-keindahan yang paling lembut dalam hidup kita ialah yang tak terlihat dan tak terdengar.

Bagaimana keadaan kota Lebanon sekarang? Adakah ia secantik hasrat kerinduanmu yang tersimpan? Atau tinggal sebidang tanah gersang dengan kemalasan di atasnya?. Adakah Lebanon masih seagung gunung-gunung yang kecantikannya diabadikan dalam nyanyian puji-pujian para penyair seperti David, Isaiah, Farhat, Lamartine dan Haddad? Atau tinggal bukit barisan dan lembah-ngarai yang membosankan, yang terasing dari keindahan dan terkungkung oleh kesunyian?

Engkau harus menjawab pertanyaan-pertanyaan ini dalam artikel-artikel panjang dalam Al Muhajir dan aku akan membacanya kata demi kata. Namun jika ada yang kurasa tak dapat dipublikasikan, tulislah itu dalam surat pribadi padaku agar kita dapat berbagi pikiran dan melihat kenyataan kota Lebanon lewat pandanganmu.

Hari-hari ini aku seperti seorang yang sedang menjalani bulan Puasa dan menunggu datangnya sang fajar dari perayaan Lebaran. Rencana perjalananku ke Paris menyebabkan impian-impianku melayang dalam pengembaraan besar yang ingin kujalani selama aku berada di Kota Ilmu dan Seni itu nanti. Menjelang keberangkatanmu ke Lebanon dulu aku pernah berkata padamu bahwa aku hendak menghabiskan waktu satu tahun di Paris, dan sekarang aku juga memutuskan untuk mengunjungi Italia sesudah berakhirnya waktuku di Paris. Aku juga bermaksud menghabiskan waktu setahun lagi untuk mengunjungi museum-museum besar, puing-puing dan kota-kota di Italia. Aku akan mengunjungi kota-kota Venesia, Florensia, Roma, dan Genoa; kemudian aku akan kembali ke Napoli dan naik kapal ke Amerika Serikat. Perjalanan ini akan merupakan perjalanan yang hebat, karena ia akan merupakan rantai emas yang menghubungkan masa lalu Gibran yang penuh duka dengan kebahagiaan masa depan.

Aku yakin kau akan melewati Paris dalam perjalanan pulang ke Amerika. Di Paris kita akan bertemu dan bergembira ria, kita akan melepaskan dahaga jiwa kita dengan keindahan-keindahan ciptaan para pelukis terkenal. Di Paris kita akan mengunjungi Pantheon dan berhenti sejenak di makam Victor Hugo, Rousseau, Chateaubriand, dan Renan. Di Paris kita akan mengunjungi Istana Louvre dan menyaksikan lukisan-lukisan Raphael, Michelangelo dan Da Vinci. Di Paris kita akan menonton opera dan mendengarkan nyanyian-nyanyian serta himne-himne yang diturunkan Tuhan kepada Beethoven, Wagner, Mozart, dan Rossini . . . Nama-nama yang agak sulit diucapkan lidah Arab ini adalah nama orang-orang besar yang mendirikan peradaban Eropa. Inilah nama-nama yang diabaikan oleh dunia, namun karya mereka takkan pupus dari muka bumi. Prahara boleh saja membuat bunga-bunga berserakan, namun ia takkan mampu merusakkan benih-benihnya. Ini adalah keagungan yang diturunkan Tuhan ke dalam hati orang-orang besar yang mencintai kerja besar, dan inilah cahaya terang yang membuat kita putra-putra sang ilmu - melangkah dengan tetap pada jalan kehidupan.

Hatiku bergetar ketika menerima suratmu dari Iskandaria, Mesir, dan aku bangga membaca dalam Al Muhajir tentang sambutan terhadapmu dan Saudara Assad Rustum di Kairo. Aku sungguh berbahagia setiap kali aku mendengar kata-kata dari atau tentang kau. Tapi, katakanlah Amin, apakah kausebut-sebut namaku ketika kau bertemu dengan para cendekiawan Lebanon dan Mesir? Apakah kau bicara tentang "orang ketiga" dalam "tritunggal" yang masih berada di seberang lautan? Aku yakin bahwa sahabatku Salim Sarkis telah mengatakan padamu tentang kritik Lutfi al Manfaluti terhadap ceritera karanganmu Madame Rose Hanie. Kritik itu dimuat dalam Al Muayyad. Aku senang akan kritik itu, karena bagiku hal semacam itu justru menjadi santapan bagi lahirnya prinsip-prinsip baru, terutama jika datangnya dari seorang terpelajar seperti Al Manfaluti.

Pekerjaanku pada hari-hari belakangan ini bagaikan untaian mata rantai yang saling berkaitan. Aku telah merobah cara hidupku dan aku merindukan sedikit kesenangan menyendiri seperti yang pernah aku rasakan sebelum aku memimpikan kepergianku ke Paris. Kemarin aku sudah cukup puas dengan memainkan bagian-bagian kecil di atas pentas hidupku yang sempit, tetapi sekarang aku sadar bahwa ternyata kepuasan itu hanyalah semacam kebebalan. Dulu aku memandang kehidupan ini lewat tawa dan air mata, namun aku sekarang memandangnya lewat berkas-berkas pada jiwa, keberanian pada hati, dan gerak pada tubuh. Dulu aku seperti seekor burung terkurung dalam sangkar, yang puas dengan bebijian yang dijatuhkan padaku oleh tangan-tangan sang Nasib. Tapi kini aku merasa bagaikan seekor burung lepas-bebas yang menyaksikan keindahan ladang-ladang dan padang-padang rumput, dan mengharap terbang di langit yang lapang untuk mendekapkan rasa kasih, angan dan harapan pada alam.

Dalam hidup kita ada sesuatu yang lebih mulia dan lebih tinggi daripada sekadar ketenaran; sesuatu itu ialah kerja besar yang membawa ketenaran itu. Aku merasakan dalam diriku suatu tenaga tersembunyi yang hendak membenahi ketelanjangannya dengan sebuah pakaian yang indah, yakni kerja besar itu. Inilah yang membuat aku merasa bahwa aku datang ke dunia ini untuk menuliskan namaku pada wajah kehidupan ini dengan huruf-huruf yang besar. Perasaan semacam ini menyertaiku siang-malam. Perasaan inilah yang menyebabkan aku melihat masa depan yang diliputi cahaya dan dilingkari oleh kegairahan dan kemenangan yang telah aku impi-impikan sejak aku berusia lima belas tahun. Impian-impian itu telah mulai terbukti, dan kurasa perjalananku ke Paris akan merupakan langkah pertama pada sebuah tangga menuju sorga. Aku bermaksud menerbitkan bukuku SayapSayap Patah (The Broken Wings) musim panas mendatang. Ini merupakan buku terbaik yang pernah kutulis. Namun buku yang akan menggoncangkan dunia Arab adalah sebuah buku filsafat berjudul Agama dan Keberagamaan *) (Religion and Religiousness) yang telah mulai kutulis lebih dari setahun yang lalu, dan menjadi pusat pemikiran dalam hatiku. Aku akan menyelesaikannya di Paris, dan mungkin akan terbit atas biaya sendiri.

Manakala engkau berada di sebuah tempat yang indah, atau di antara orang-orang terpelajar, atau di tepi reruntuhan purbakala, atau di puncak bukit yang tinggi, bisikkanlah namaku sehingga jiwaku akan pergi ke Lebanon dan melayang-layang di atasmu untuk bersama-sama merasakan kesenangan, arti dan rahasia kehidupan denganmu. Ingatlah aku ketika engkau menyaksikan matahari terbit dari balik bukit Sunnin atau Fam El Mizab. Kenanglah aku tatkala engkau menyaksikan sang Surya turun ke peraduannya seraya menggelarkan busana merah pada gunung-gemunung dan lembah-lembah, seolah mencucurkan darah, kalau bukan air mata, sebagai ucapan selamat tinggal kepada Lebanon. Panggillah namaku manakala engkau menyaksikan para gembala duduk di keteduhan pepohonan sambil meniup buluh perindu dan mengisi padang sunyi dengan musik yang sejuk, bagaikan Dewa Apollo waktu diasingkan ke dunia ini. Kenanglah aku ketika engkau melihat anak-anak dara menggendong guci-guci tanah yang penuh air di atas pundaknya. Ingatlah aku waktu kau melihat petani Lebanon membajak tanah di bawah terik matahari, dengan manik-manik keringat menghiasi dahinya sedangkan punggungnya terbungkuk oleh tugas kerja yang berat. Ingatlah aku ketika kau mendengar nyanyian-nyanyian dan himne-himne yang dijalin oleh Alam dari berkas-berkas cahaya rembulan, berpadu dengan bau aroma dari lembah-lembah, ditingkah angin yang bermain dari hutan Cedar Suci, lalu dituangkan ke dalam sanubari orang-orang Lebanon. Ingatlah aku ketika orang-orang mengundangmu ke pesta-pesta perayaan, karena ingatanmu itu akan memberimu lukisan cinta dan rinduku padamu, dan akan menambah semangat serta memperdalam makna kata-kata dan pidato-pidatomu. Cinta dan kerinduan itu, Saudara Amin, adalah awal dan akhir dari kerja kita.

Kini, setelah kutuliskan baris-baris ini padamu, aku merasa seperti seorang anak kecil yang hendak menyauk air laut dengan sekeping kulit kerang lalu menuangkannya pada parit kecil yang digalinya pada pasir pantai. Tapi apakah kau tidak melihat di antara baris-baris ini beberapa baris lain yang mestinya engkau tanyakan rahasianya? Baris-baris itu tertulis dengan jemari jiwa dan tinta hati nurani di atas wajah cinta yang mengawang antara bumi dan bintang gemintang, melayang antara Timur dan Barat.

Sampaikan salamku pada ayahmu yang sangat kuhormati, juga pada ibumu yang terhormat - ibu yang telah menganugerahi dunia Arab dengan seorang tokoh perkasa, mengaruniai Lebanon sebuah obor yang cemerlang, dan memperkaya Gibran dengan seorang saudara yang sangat dicintainya. Sampaikan juga salamku buat segenap saudaramu, para tetangga dan penggemarmu seperti angin cerita Lebanon yang menyebarkan wangi bunga pada pohon-pohon apel di bulan Nisan.

Dari seberang lautan Miriana mengirimkan salam padamu seraya berdoa untuk kesejahteraanmu. Demikian juga kerabatku Melhem dan anak putrinya Zahieh. Semua orang rindu padamu dan ingin segera bertemu, wahai Saudara tercinta, dari....

Gibran

*) Buku ini (Agama dan Keberagamaan *) (Religion and Religiousness) tak jadi terbit karena tidak selesai

0 comments:

Post a Comment